MAKALAH
“Perlindungan
Konsumen terhadap Leasing Kendaraan Bermotor”
Makalah
ini di susun untuk memenuhi tugas mata kuliah
“Hukum
Perlindungan Konsumen”
Dosen Pengampu :
Dr.
Zulfatun Nikmah, M.Ag.
Disusun oleh:
Kelompok 03
1. Azzatul Kharimah (2821133003)
2. Imam Mahmudi (2821133007)
3. Zahra’a unnisa (2821133016)
4.
Novita Tunjung sari (2821133020)
Fakultas Syari’ah dan Ilmu Hukum
Jurusan Hukum Ekonomi Syariah (HES)
Semester 5
Institut Agama Islam Negeri Tulungagung
(IAIN) Tulungagung
Tahun Akademik 2015
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT
yang telah melimpahkan rahmad serta hidayah-Nya kepada penulis sehingga penulis
bisa menyelesaikan makalah ini dengan baik dan tepat waktu. Tak lupa
sholawat serta salam semoga tetap terlimpahkan kepada Nabi besar kita Muhammad
SAW yang telah menuntun kita dari zaman jahiliyah menuju zaman Islamiyah yang
terang benderang ini.
Ucapan terimakasih tak lupa
penulis sampaikan kepada pihak-pihak yang telah ikut membantu dalam
terselesaikannya makalah ini, antara lain:
1. Ibu Dr.
Zulfatun Nikmah, M.Ag., selaku dosen Hukum Perlindungan
Konsumen yang telah memberikan penjelasan dan petunjuk terkait dengan tema
makalah ini.
2. Kedua
orang tua penulis yang telah membantu penulis baik dalam sumbangan secara
materi maupun nonmateri
3. Pihak-pihak
lain yang tidak bisa disebutkan satu persatu yang ikut serta dalam pembuatan
makalah ini
Sebagai seorang insan yang
beriman, kita diwajibkan untuk menuntut ilmu. Walau usia sudah renta
bukan jadi alasan seseorang untuk berhenti mencari dan mengamalkan
ilmu pengetahuan. Oleh karena itu, makalah ini sebagai hasil upaya
keras kami yang telah melakukan pembahasan dan pencermatan berbagai
sumber guna menganalisis Perlindungan Konsumen terhadap Leasing kendaraan
bermotor. Meskipun tidak menutup kemungkinan masih terdapat kekurangan dan
kekeliruan. Terlepas dari kekurangan itu semoga usaha kami ini dapat memberikan
manfaat bagi semua khususnya para mahasiswa IAIN Tulungagung dalam proses
pembelajaran.
Tulungagung,
07 November 2015
Tim Penyusun
DAFTAR ISI
Halaman
Cover........................................................................................................ i
Kata
Pengantar........................................................................................................ ii
Daftar
Isi.................................................................................................................. iii
BAB
I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang............................................................................................. 1
B.
Rumusan Masalah........................................................................................ 2
C.
Maksud dan Tujuan..................................................................................... 2
BAB
II PEMBAHASAN
A.
Leasing.........................................................................................................3
B.
Pengertian dan Perkembangan
Leasing kendaraan bermotor......................... 4
C.
Mekanisme Leasing kendaraan
bermotor..................................................5
D.
Sengketa dan Perlindungan
Konsumen terhadap leasing kendaraan bermotor.. 7
E.
Undang-Undang Leasing
kendaraan bermotor............................................ 11
BAB III PENUTUP
Kesimpulan.............................................................................................................. 15
DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................... 17
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sewa Guna Usaha (Leasing)
merupakan suatu bentuk usaha yang dapat dijadikan alternative guna mengatasi
kesulitan permodalan dalam rangka pembiayaan suatu perusahaan. Dalam hal ini
banyak sekali masyarakat yang sangat tergiur untuk melakukan pembiayaan dengan
menggunakan pihak leasing, karena persyaratan dalam leasing ini tidak
memberatkan serta system pendanaanya yang fleksibel, kondisi ini yang
menyebabkan perusahaan leasing bergerak dengan cepat di Indonesia.
Didalam perusahaan-perusahaan
yang mempunyai produk Leasing mereka akan memberikan tawaran-tawaran yang sangat
menggiurkan lewat depcolektor kepada para nasabah (orang yang menginginkan jasa
Leasing tersebut). Seperti yang kita ketahui di masyarakat saat ini depcolektor
berperan sangat aktif dalam mengemban tugasnya yaitu mengingatkan para nasabah
agar nasabah tersebut rutin membayar cicilan yang telah ditentukan oleh
perusahaan tersebut. Jika para nasabah belum bisa membayar angsuran yang telah
ditentukan oleh perusahaan maka depcolektor akan memberikan pinalti atau atau
mengambil barang tersebut secara paksa.
Dalam perusahaan Leasing ini
mereka menggunakan system perjanjian jual beli dan sewa menyewa. Sewa Guna
(Leasing) merupakan suatu perjanjian yang lahir karena adanya ciptaan praktek
yang ada di masyarakat, sehingga KUHPdt di Indonesia tidak mengaturnya. Sebagai
bentuk perjanjian baru yang tidak diatur di dalam KUHPdt, bukan berarti bentuk
perjanjian Leasing ini terpisah dari ketentuan-ketentuan yang ada di dalam
masyarakat. Perjanjian Leasing merupakan penggabungan dari perjanjian jual beli
dan sewa menyewa, sehingga perjanjian Leasing memiliki substansi yang
didalamnya menyangkut pengertian menyewa dan jual beli. Hal tersebut dapat
ditemukan dalam rumusan dan ketentuan mengenai perjanjian Leasing.
Ada sejumlah UU yang berkaitan
dengan kegiatan menghasilkan serta memperdagangkan barang dan jasa, dalam hal
ini semua pelaku usaha wajib beriktikad baik dalam menjalan usahanya, termasuk
dalam memperdagangkan barang dan jasa, sehubungan dengan hal itu, konsumen
perlu dilindungi sebab melindungi konsumen berarti menjamin kelangsungan
pembangunan nasional.[1]
B. Rumusan
Masalah
1.
Apa pengertian dari Leasing
?
2.
Bagaimana pengertian dan
Perkembangan Leasing kendaraan bermotor ?
3.
Bagamanakah mekanisme
leasing kendaraan bermotor?
4.
Bagaimana Undang-Undang
leasing kendaraan bermotor ?
5.
Bagaimana Sengketa sarta
bentuk Perlindungan Konsumen terhadap leasing kendaraan bermotor?
C.
Tujuan Penulisan
1.
Untuk mengetahui pengertian
dari leasing
2.
Untuk mengetahui pengertian
leasing kendaraan bermotor dan perkembangannya
3.
Untuk mengetahui mekanisme
leasing kendaraan bermotor
4.
Untuk mengetahui Undang-undang
leasing kendaraan bermotor
5.
Untuk mengetahui bagaimana
sengketa leasing serta Perlindungan Konsumen terhadap leasing kendaraan
bermotor
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Leasing
Secara bahasa leasing berasal
dari kata “to lease” artinya menyewakan. Secara Istilah leasing adalah suatu
perjanjian dimana lessor menyediakan barang asset dengan penggunaan alih lessee
dengan imbalan pembayaran sewa untuk jangka waktu tertentu. Leasing dapat juga
diartikan sebagai kegiatan pembiayaan dalam bentuk penyediaan barang modal baik
secara sewa guna usaha dengan hak opsi (finance lease) maupu sewa guna usaha tanpa hak opsi atau
(operating lease) untuk digunakan oleh lease dalm jangga waktu tertentu
berdasarkan pembayran secara berkala. Financial lease adalah kegiatan leasing
dimana pada akhir perjanjian leasing mempunyai hak opsi untuk membeli objek
leasing berdasarkan nilai sisa yang disepakati. Operating lease adalah setiap
kegiatan leasing dimana lease pada akhir kontrak tidak mempunyai hak opsi untuk
membeli objek leasing.
Pelaku-pelaku
leasing:
1.
Lessor adalah pihak yang
memberikan jasa pembiayaan kepada lease dalam bentuk penyewaan barang modal.
Dalam financial leasing, lessor memperoleh kembali biaya yang telah dikeluarkan
untuk membiayai penyediaan barang modal dengan memperoleh laba, sedangkan dalam
operating leasing lessor memperoleh untung dari penyediaan barang serta
pemberian jasa-jasa pemeliharaan dan pengoperasian barang modal.
2.
Leassee adalah yang menyewa
barang. Dalam operating lease, lease dapat memenuhi kebutuhan peralatan, tenaga
operator dan perawatan alat tanpa resiko.
3.
Supplier adalah pihak yang
menyediakan barang untuk dijual kepada lease dengan pembayaran tunai kepada lessor.
4.
Bank atau kredit adalah
pihak yang menyediakan dana kepada lessor atau supplier.[2]
B. Pengertian dan
Perkembangan Leasing Kendaraan Bermotor
Perusahaan sewa guna usaha di
Indonesia lebih dikenal dengan nama Leasing. Leasing adalah perjanjian (kontrak)
antara lessor dan lessee untuk menyewa suatu jenis barang modal tertentu yang
dipilih atau yang ditentukan oleh lesse. Hak atas kepemilikan barang modal
tersebut ada pada lessor, adapun lesse hanya menggunakan barang modal tersebut
berdasarkan pembayaran uang sewa yang telah ditentukan dalam suatu jangka waktu
tertentu.[3]
Jadi dalam hal ini dapat ditarik kesimpulan bahwa Leasing Kendaraan
Bermotor adalah suatu perjanjian kontrak antara pemberi modal dengan yang
penerima modal guna untuk menyewa barang tertentu yang dalam hal ini adalah motor.
Kegiatan utama leasing adalah bergerak di bidang pembiayaan untuk
keperluan barang-barang modal yang diinginkan oleh nasabah. Pembiayaan yang
dimaksud jika seorang nasabah membutuhkan barang-barang modal, yang dalam hal
ini sepeda motor dengan cara disewa atau dibeli secara kredit, dapat diperoleh
diperusahaan leasing. Pihak Leasing dapat membiayai keinginan nasabah dengan
perjanjian yang telah disepakati kedua pihak. Dan pihak leasing menyediakan
barang dengan hak penggunaan oleh lessee (nasabah) dengan
imbalan pembayaran sewa untuk jangka waktu tertentu.[4]
·
Perkembangan Leasing di
Indonesia
Usaha leasing (sewa guna usaha)
sebenarnya sudah ada sejak tahun 2000 sebelum masehi yang dilakukan oleh
orang-orang Sumeria. Dokumen-dokumen yang ditemukan dari kebudayaan Sumeria
menunjukkan bahwa transaksi leasing meliputi leasing peralatan, penggunaan
tanah dan binatang piaraan. Kegiatan Leasing diperkenalkan untuk pertama
kali di indonesia pada tahun 1974 dengan di keluarkannya Surat Keputusan
Bersama Menteri Keuangan, Menteri Perdagangan dan Menteri Perindustrian No.
Kep.122/MK/2/1974, No.32/M/SK/1974 dan
No. 30/Kpb/1/1974 Tanggal 7 februari tahun 1974 tentang “Perijinan usaha
Leasing”.
Menteri Keuangan selanjutnya
mengeluarkan SK No. 650/MK/IV/5/1974 tanggal 6 Mei 1974 karena sejak saat itu
jumlah perusahaan Leasing dari tahun ke tahun mengalami kemajuan dan SK
tersebut dgunakan untuk mengatur/acuan untuk membiayai penyediaan barang-barang
modal dunia usaha, serta untuk mendukung perkembangan usaha ini leasing ini.
Selanjutnya, tanggal 20 Desember 1988
dengan kebijakan deregulasi, perusahaan pembiayaan yang meliputi usaha leasing diatur
dalam paket tersebut deregulasi tersebut. Dengan berlakunya paket kebijakan
tersebut ketentuan leasing sebelumnya dinyatakan tidak berlaku.
Dalam paket tersebut juga
diperkenalkan suatu istilah lembaga pembiayaan yaitu badan usaha yang
melakukan suatu kegiatan pembiayaan dalam bentuk penyediaan dana atau barang modal
dengan tidak menarik dana secara langsung dari masyarakat. Hadirnya perusahaan
sewa guna usaha patungan (joint venture) bersama perusahaan nasional
telah mampu mempopulerkan peranan kegiatan sewa guna sebagai
alternatif pembiayaan barang modal.[5]
C. Mekanisme
Leasing
Mekanisme leasing
di Indonesia sebagaimana berikut:
1. Lesse (nasabah)
menghubungi pemasok untuk pemilihan dan penentuan jenis barang, spesifikasi
barang, harga, jangka waktu penagihan dan jaminan purna jual atas barang yang
akan disewa.
2. Lesse (nasabah)
melakukan negosiasi dengan lessor mengenai kebutuhan pembiayaan barang modal.
Dalam hal ini lesse dapat meminta lease quotation yang tidak mengikat dari
lessor. Dalam quotation terdapat syarat-syarat pokok pembiayaan leasing,
antara lain: keterangan barang, harga barang,
cash securitydeposit, residual value, asuransi, biaya administrasi,
jaminan uang sewa (leaserental), dan persyaratan-persyaratan lainnya.
3. Lessor mengirimkan letter of offer atau comittment letter kepada
lessee yang berisi syarat-syarat pokok persetujuan lessor untuk
membiayaai barang modal yang dibutuhkan,
lessee menandatangani dan mengembalikannya kepaada lessor.
4. Penandatangan kontrak leasing setelah semua persyaratan dipenuhi
oleh lease (nasabah), yaitu dimana kontrak tersebut mencakup dalam hal-hal:
pihak-pihak yang terlibat,hak milik, jangka waktu, jasa leasing, opsi bagi
lessee, penutupan asuransi,tanggung jawab dan objek leasing, perpajakan jadwal pembayaran
angsuransewa dan sebagainya.
5. Pengiriman order beli kepada pemasok disertai instruksi pengiriman
barang kepada lessee sesuai dengan tipe dan spesifikasi barang yang telah
disetujui.
6. Pengiriman barang & pengecekan barang oleh lessee sesuai pesanan serta menandatangani
surat tanda terima dan perintah bayar selanjutnya diserahkan
kepada pemasok.
7. Penyerahan dokumen oleh pemasok kepada lessor termasuk faktur
bukti-bukti kepemilikan barang lainnya.
8. Pembayaran oleh lessor kepada pemasok
9. Pembayaran sewa (lease payment) secara berkala oleh lessee
kepada lessor selama masa leasing yang seluruhnya mencakup
pengembalian jumlah yang dibiayai beserta bunganya.[6]
Dalam Leasing
(sewa guna usaha) kendaraan bermotor yang mencakup teknik transaksi antara
lessor dan lesse dapat digunakan jenis Finance
Lease. Seperti yang telah dikemukakan diatas mengenai Finance Lease.
Finance Lease ini lebih sering diterapkan dalam praktik. Karena pada jenis
ini lesse menghubungi lessor untuk memilih, memesan, memeriksa dan memelihara
barang modal yang dibutuhkan selama masa sewa lesse membayar sewa secara
berkala dari jumlah seluruhnya ditambah dengan pembayaran nilai sisa (residual
value). Dalam hal ini pada masa akhir kontrak lesse memiliki hak opsi atas
barang modalnya untuk mengembalikan, membeli atau memperpanjang masa
kontraknya.
Dengan demikian karakteristik
Finance Lease adalah:
a.
Barang modal bisa dalam
bentuk barang bergerak atau tidak bergerak yang berumur maksimum sama dengan
masa kegunaan ekonomis barang tersebut.
b.
Barang modal tetap milik
lessor sampai berlakunya hak opsi.
c.
Jumlah sewa yang dibayar
secara angsuran perbulan meliputi biaya perolehan barang ditambah biaya-biaya lain
dan keuntungan(spread) yang diharapkan lessor.
d.
Besarnya harga sewa dan hak
opsi harus menutupi harga barang ditambah keuntungan yang diharapkan lessor.
e.
Jangka waktu berlakunya
kontrak leasing relative panjang.
f.
Resiko biaya pemeliharaan,
kerusakan, pajak dan asuransi ditanggung oleh lesse.
g.
Kontrak sewa guna usaha
tidak dapat dibatalkan sepihak oloeh lessor (non cancellable)
h.
Pada masa akhir kontrak
lesse diberi hak opsi untuk mengembalikan atau membeli barang modal tersebut
atau memperpanjang masa kontraknya.[7]
D. Undang Undang serta Peraturan mengeanai Leasing
Pasal 9 ayat (1) Keputusan
Menteri Keuangan No.1169/KMK.01/1991 tentang kegiatan Sewa Guna Usaha
ditentukan bahwa setiap transaksi Sewa Guna Usaha wajib diikat dalam suatu
perjanjian Sewa Guna Usaha (lease agreement). Adapun dalam pengumuman Direktur
Jenderal Moneter No. Peng.307/DJM/III.1/7/1974 menyebutkan bahwa untuk
kepentingan pengawasan dan pembinaan, para pengusaha leasing diharuskan
menyampaikan kepada Direktur Jenderal, Departemen Keuangan, antara lain “Kopi
Kontrak Leasing… dan sebagainya”. Dari kedua ketentuan di atas, dapat
ditarik kesimpulan bahwa kegiatan Sewa Guna Usaha merupakan suatu bentuk
perjanjian yang dibuat secara tertulis (kontrak).[8]
Perjanjian tertulis (Kontrak)
dalam sewa guna usaha ini tidak ditentukan atau tidak diwajibkan apakah harus
dibuat dalam bentuk akta autentik/ akta notaris atau akta dibawah tangan. Baik
dalam bentuk akta autentik/ akta notaris maupun akta dibawah tangan sama-sama
mempunyai kekuatan hokum, yang membedakan hanyalah pada segi hokum
pembuktiannya. Menurut pasal 1870 KUHPdt bukti yang paling kuat adalah bukti
dalam bentuk akta autentik. Adapun akta dibawah tangan baru mempunyai kekuatan
pembuktian jika pihak yang menandatangani akta tersebut mengakui tanda
tangannya dalam akta tersebut. Mengingat hal tersebut, dalam praktik banyak
perusahaan sewa guna usaha yang membuat kontrak Sewa Guna Usaha secara
notarial/autentik, apabila jika nilai sewa guna usanhanya dalam jumlah yang
besar.
Mengenai isi kontrak sewa guna
usaha, baik dalam Pengumuman Direktur Jenderal Moneter No.
Peng.307/DJM/III.1/7/1974 maupun dalam Keputusan Menteri Keuangan
No.1169/KMK.01/1991 tentang Kegiatan Sewa Guna Usaha sudah menentukan hal-hal
apakah yang minimal harus dimuat dalam kontrak Sewa Guna Usaha. Namun demikian,
menurut Eddy P. Soekadi (1990, hlm 154) suatu kontra Sewa Guna Usaha yang
lengkap memuat hal-hal mengenai subjek perjanjian, objek perjanjian, jangka
waktu, imbalan jasa sewa serta cara pembayarannya, hak opsi bagi lesse,
kewajiban perpajakan, penutupan asuransi, tanggungjawab atas objek perjanjian,
akibat kejadian lalai, serta akibat rusak atau hilangnya objek perjanjian Sewa
Guna Usaha.
1.
Subjek Perjanjian Sewa Guna
Usaha.
Subjek yang terlibat dalam perjanjian Sewa Guna Usaha
adalah lessor dan Lesse. Yang boleh menjadi lessor adalah hanya pihak yang
dengan tegas diizinkan untuk berusaha dalam bidang sewa guna usaha. Adapun yang
menjadi lessee adalah Badan Usaha atau perorangan yang mempunyai izin usaha.
2.
Objek Perjanjian Sewa Guna
Usaha
Objek perjanjian Sewa Guna Usaha adalah barang modal
yang dibeli oleh lessor atas permintaan lessee. Barang modal tersebut dapat
berupa barang bergerak maupun barang tidak bergerak. Dalam kepastian hokum bagi
semua pihak maka penjelasan mengenai objek barang modal ini harus diperinci
secara jelas mengenai jenis, jumlah, lokasi, dan lain-lainnya.
3.
Jangka waktu Perjanjian
Sewa Guna Usaha
Jangka waktu perjanjian Sewa Guna Usaha dimulai sejak
saat lessee menerima barang modal sampai dengan perjanjian sewaguna usaha
berakhir sesuai dengan waktu yang telah disepakati bersama. Jika terjadi
kelalaian, lessor berhak untuk mengakhiri perjanjian Sewa Guna Usaha tersebut,
sebaliknya lessee tidak dapat mengakhiri perjanjian selama perjanjian masih berjalan.
Ketentuan ini dapat disimpangi asalkan lessee dapat memenuhi syarat-syarat
tertentu, misalnya bila lesse bisa membayar tunai kepada lessor semua jumlah
yang terutang berdasarkan perjanjian Sewa Guna Usaha.
4.
Imbalan Jasa Sewa Guna
Usaha dan cara pembayarannya
Imbalan Jasa Sewa Guna Usaha adalah
bagian dari pembayaran sewa guna usaha yang diperhtungkan sebagai pendapatan
sewa guna usaha lessor. Imbalan jasa ini meliputi antara lain biaya untuk
mendapatkan barang modal (termasuk didalamnya biaya pengangkutan, pemasangan,
asuransi), biaya bunga atas dana untuk membeli barang modal, spread atau marjin
yang merupakan keuntungan bagi lessor, serta biaya pajak.
5.
Hak Opsi
Dalam Finance Lease, lesse mempunyai hak opsi untuk
membeli barang modal pada akhir masa perjanjian Sewa Guna Usaha. Besarnya harga
barang tersebut sesuai dengan nilai sisa ( residual value ) pada akhir masa kontrak. Apabila lessee tidak
menggunakan hak opsi ini, lessee dapat memperpanjang perjanjian sewa guna usaha
atau mengembalikan barang modal tersebut pada lessor.
6.
Kewajiban Perpajakan
Atas adanya barang modal serta perjanjian sewa guna
usaha antara lessor dan lessee, jika ada beban pajak yang harus dibayar, maka
lessee yang bertanggungjawab atas biaya tersebut.
7.
Penutupan Asuransi
Semua kerugian
akibat kerusakan atau kehilangan barang modal menjadi tanggungjawab lessee.
Untuk menghindari resiko ini lessee harus mengasuransikan barang tersebut atas
biaya dari lessee. Jika terjadi musibah atas barang tersebut lessor yang berhak
untuk menerima penggantian dari perusahaan asuransi. Seandainya lease lalai
untuk mengasuransikan barang tersebut, lessor berhak untuk mengasuransikan
barang tersebut atas biaya asuransi tersebut, lessor berhak untuk menagih
kepada lessee.
8.
Tanggungjawab atas Objek
Perjanjian Sewa Guna Usaha
Lessee wajib
untuk menjaga serta melihat barang modal tersebut secara baik dan layak.
9.
Akibat Kejadian Lalai
Apabila lessee lalai untuk melakukan kewajibannya
membayar sewa, lessor berhak untuk menagih semua pembayaran yang masih terutang
dan menerima kembali barang modalnya.
10. Akibat Rusak atau Hilangnya objek Perjanjian Sewa Guna Usaha
Jika terjadi barang modal rusak atau hilang lessee
berkewajiban untuk membayar seluruh imbalan jasa sewa. Namun, untuk hal ini
hedaknya perlu diperhatikan atas bunga yang terkandung dalam sewa. Jika lessee
dapat mengembalikan lebih awal tentunya bunga tersebut dipotong dalam jangka
waktu yang belum dijalaninya.[9]
E. Sengketa Leasing serta Perlindungan Konsumen terhadap
Kendaraan Bermotor
Adanya fasilitas kredit dalam membeli kendaraan
bermotor mempermudah masyarakat untuk memiliki kendaraan sendiri. Namun ada
saja orang yang terbelit masalah ketika mengambil kredit kendaraan bermotor
karena belum sepenuhnya memahami aturan yang melingkupinya. Mengambil kredit
kendaraan bermotor dari bank atau leasing memiliki aturannya sendiri-sendiri.
Umumnya kredit dari bank lebih ringan karena bunga lebih rendah. Namun kredit
dari leasing lebih mudah didapat karena syarat yang lebih longgar.[10]
Di Solo, Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen
(BPSK) mencatat laporan aduan terkait jasa lembaga pembiayaan atau leasing, terutama mengenai
kendaraan bermotor yang paling mendominasi. BPSK mencatat salah satu
pelanggaran yang dilakukan oleh sejumlah lembaga pembiayaan tersebut adalah
mengubah akad perjanjian kredit menjadi pembayaran tunggal.[11]
Hal ini bertentangan dengan pasal 18 Undang-Undang Perlindungan Konsumen yang
berbuyi:
“pelaku usaha dalam menawarkan
barang dan atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang membuat atau
mencantumkan klausula baku pada setiap dokumen dan atau perjanjian apabila :
menyatakan peralian tanggungjawab pelaku usaha”.[12]
Kemudian
sengketa konsumen mengenai leasing kendaraan bermotor diantaranya adalah:
1.
Kredit Macet
Permasalahan kredit macet ini, sering dialami oleh perusahaan
leasing yang hal itu dilakukan oleh nasabah.
Nasabah dalam hal ini tidak mampu membayar angsuran beberapa kali
sehigga terjadi kemacetan dalam hal angsuran. Sehingga kebanyakan para
perusahaan memperlakukan para nasabah tidak semestinya, seperti mengambil paksa
barang yang digunakan oleh nasabah yang dalam hal ini adalah kendaraan
bermotor.
2.
Penggelapan Barang
Selain kredit macet ada pula permasalahan mengenai penggelapan
barang, penggelapan barang yang dalam hal ini kendaraan motor sering dilakukan oleh nasabah. Yaitu ketika
seorang nasabah masih dalam jangka waktu pembayaran dan ia belum memiliki hak
opsi untuk membeli, namun nasabah melakukan sebuah perjanjian sendiri berupa
penyewaan atau jual beli diluar sepengetahuan pihak perusahaan.
Setelah terjadi hal hal seperti diatas solusi yang
selalu digunakan oleh pihak perusahaan atau lesse adalah dengan menarik paksa
barang dari pihak nasabah. Pelanggaran konsumen seperti inilah yang selalu
menjadi permasalahan dalam sebuah kegiatan leasing.
Karena sebagian besar konsumen Indonesia enggan berperkara ke pengadilan,
padahal telah sangat dirugikan oleh pengusaha. Sedangkan Pihak leasing selalu
beranggapan bahwa hal itu sudah tertulis dalam sebuah kontarak perjanjian.
Perjanjian merupakan salah satu
sumber perikatan, yang dapat dikatakan sebagai sumber formal hukum yang utama
dalam transaksi konsumen, misalnya seperti diatas tadi mengenai atau terkait
dengan keberadaan perjanjian standar (baku), yang merupakan pelanggaran
konsumen dalam hal kebebasan berkontrak dari pihak konsumen.
Sebagaimana dimuat dalam KUH Perdata,
salah satu asas penting dalam sebuah perjanjian ialah prinsip kebebasan
berkontrak.[13]
Dalam asas ini terdapat empat syarat sah suatu perjanjian, yaitu:
1.
Kesepakatan kedua belah
pihak
2.
Kecakapan
3.
Suatu pokok persoaloan
tertentu
4.
Suatu sebab yang halal.
Dua syarat yang pertama merupkan
syarat subjektif, sedangkan dua syarat terakhir merupakan syarat objektif.
Pelanggaran syarat subjektif menyebabkan perjanjian tersebut terancam untuk
dapat dimintakan pembatalannya, sedangkan bila syarat objektif tidak terpenuhi
maka perjanjian tersebut terancam batal demi hukum.[14]
Pasal 1321 KUH Perdata menyebutkan 3
alasan untuk melakukan pembatalan perjanjian. Yakni
1)
Kekhilafan
2)
Paksaan
3)
Penipuan
Selain itu ada pula mengenai penyalahgunaan keadaan,
penyalahgunaan keadaan ini berkaitan dengan kondisi yang ada pada saat
kesepakatan terjadi, kondisi tersebut membuat ada salah satu pihak yang berada dalam keadaan tidak bebas untuk
menyatakan kehendaknya.
Didalam UUPK secara umum membuka kemungkinan pengajuan
gugatan oleh konsumen kepada pelaku usaha berdasarkan factor penyalahgunaan
keadaan ini. Dalam pasal 2 UUPK menyebutkan adanya 5 asas perlindungan
konsumen, yaitu asas :
1.
Manfaat
2.
Keadilan
3.
Keseimbangan
4.
Keamanan dan keselamatan
5.
Kepastian hukum[15]
Pada asas keadilan dijelaskan, seluruh rakyat diupayakan
agar dapat berpartisipasi semaksimal mungkin dan agar diberi kesempatan kepada
konsumen dan pelaku usaha untuk memperoleh haknya dan melaksanakan kewajibannya
secara adil. Kemudian, dalam asas keseimbangan disebutkan, perlu diberi
keseimbangan antar pihak pihak yang bersangkutan.[16]
Kemudian dalam pasal 4 UUPK menyebutkan pula salah satu
hak konsumen adalah untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur
serta tidak diskriminatif. Penjelasan dari ketentuan tersebut secara jelas
dapat ditafsirkan sebagai keterkaitan dengan larangan “penyalahgunaan keadaan”.
Dalam ketentuan itu dikatakan, setiap konsumen memiliki hak untuk diperlakukan
atau dilayani secar benar dan jujur serta tidak diskriminatif berdasarkan suku,
agama, budaya, daerah, pendidikan, kaya, miskin dan status social lainnya.
Pasal 15 UUPK bahkan secara tegas menyatakan, pelaku
usaha dalam menawarkan barang dan atau jasa dilarang melakukan dengan cara
pemaksaan atau cara lain yang dapat menimbulkan gangguan baik fisik maupun
sikis terhadap konsumen. Selanjutnya dalam hubungannya dengan perjanjian standart,
pasal 18 UUPK meletakkan hak hak ynag setara antara konsumen dan pelaku usaha
berdasarkan prinsip kebebasan bekontrak. Pelanggaran terhadap kedua pasal
diatas merupakan tindak pidana menurut ketentuan pasal 62 UUPK, dengan ancaman
pidana penjara paling lama 5t tahun atau pidana denda paling banyak Rp.
2.000.000.000.
BAB III
SIMPULAN
a.
Leasing adalah kegiatan
pembiayaan dalam bentuk penyediaan barang modal baik secara sewa guna usaha
dengan hak opsi (finance lease) maupu
sewa guna usaha tanpa hak opsi atau (operating lease) untuk digunakan oleh
lease dalam jangga waktu tertentu berdasarkan pembayaran secara berkala.
ada dua jenis bentuk
leasing itu sendiri yaitu finance lease
dan operating lease. Financial lease adalah kegiatan leasing dimana pada
akhir perjanjian leasing mempunyai hak opsi untuk membeli objek leasing
berdasarkan nilai sisa yang disepakati. Operating lease adalah setiap kegiatan
leasing dimana lease pada akhir kontrak tidak mempunyai hak opsi untuk membeli
objek leasing.
b.
Leasing Kendaraan Bermotor
adalah suatu perjanjian kontrak antara pemberi modal dengan yang penerima modal
guna untuk menyewa barang tertentu yang dalam hal ini adalah motor.
Usaha leasing
(sewa guna usaha) sebenarnya sudah ada sejak tahun 2000 sebelum masehi yang
dilakukan oleh orang-orang Sumeria. Sedangkan Kegiatan Leasing diperkenalkan
untuk pertama kali di indonesia pada tahun 1974 dengan di keluarkannya Surat
Keputusan Bersama Menteri Keuangan, Menteri Perdagangan dan Menteri Perindustrian
No. Kep.122/MK/2/1974, No.32/M/SK/1974
dan No. 30/Kpb/1/1974 Tanggal 7 februari tahun 1974 tentang “Perijinan usaha
Leasing”. Selanjutnya Menteri Keuangan mengeluarkan SK No. 650/MK/IV/5/1974 tanggal 6
Mei 1974 karena sejak saat itu jumlah perusahaan Leasing dari tahun ke tahun
mengalami kemajuan dan SK tersebut dgunakan untuk mengatur/acuan untuk
membiayai penyediaan barang-barang modal dunia usaha, serta untuk mendukung
perkembangan usaha leasing ini.
c.
Mekanisme Leasing sendiri
dapat dilihat di bagian c, yang meliputi Pihak Lesse dan Lessor, Barang yang
dileasingkan, serta kontrak didalamnya.
Dalam Leasing (sewa guna usaha) kendaraan bermotor yang mencakup teknik
transaksi antara lessor dan lesse dapat
digunakan jenis Finance Lease.
Pada jenis ini lesse menghubungi lessor untuk
memilih, memesan, memeriksa dan memelihara barang modal yang dibutuhkan selama
masa sewa lesse membayar sewa secara berkala dari jumlah seluruhnya ditambah
dengan pembayaran nilai sisa (residual value). Dalam hal ini pada masa
akhir kontrak lesse memiliki hak opsi atas barang modalnya untuk mengembalikan,
membeli atau memperpanjang masa kontraknya.
d.
Peraturan mengenai Leasing
ini terdapat dalam Pasal 9 ayat (1) Keputusan Menteri Keuangan No.1169/KMK.01/1991
yang isinya mengenai kegiatan Sewa Guna Usaha ditentukan bahwa setiap transaksi
Sewa Guna Usaha wajib diikat dalam suatu perjanjian Sewa Guna Usaha (lease
agreement).
Dan juga dalam Pengumuman Direktur Jenderal Moneter
No. Peng.307/DJM/III.1/7/1974 menyebutkan bahwa untuk kepentingan pengawasan
dan pembinaan, para pengusaha leasing diharuskan menyampaikan kepada Direktur
Jenderal, Departemen Keuangan.
Dari kedua ketentuan di atas, dapat ditarik
kesimpulan bahwa kegiatan Sewa Guna Usaha merupakan suatu bentuk perjanjian
yang dibuat secara tertulis (kontrak).
e.
Sengketa Leasing serta
Perlindungan Konsumen terhadap leasing. Jika dalam suatu perjanjian leasing ini
terdapat seorang konsumen yang terlanggar haknya maka seorang nasabah atau konsumen
dapat mengadukan pada BPSK terkait jasa lembaga pembiayaan atau leasing
terutama mengenai kendaraan bermotor. UUPK pasal 18, pasal 2, Pasal 4, dan
pasal 15 dapat dijadikan acuan atau aturan yang menjadi alasan hak hak konsumen
yang terlanggar.
DAFTAR
PUSTAKA
Undang-undang Republik Indonesia tentang Perlindungan Konsumen Nomor 8 Tahun
1999 tentang Perlindungan Konsumen dan Penjelasannya
Sidabolak,
Janus. Hukum Perlindungan Konsumen. Bandung: Citra Aditya Bakti. 2006
Miru, Ahmadi. Hukum Kontrak dan
Perancangan Kontrak. Jakarta: Raja Grafindo Persada. 2008
Frianto Pandia dkk. Lembaga Keuangan. Jakarta: PT. RINEKA CIPTA. 2005
Sunaryo. Hukum Lembaga Pembiayaan. Jakarta: Sinar Grafika. 2008
Tri Siwi,
Celina. Hukum Perlindungan Konsumen. Jakarta: Sinar Grafika. 2008
http://www.academia.edu/7237483/MAKALAH_LEASING
[1]
Janus Sidabolak, Hukum Perlindungan Konsumen, (Bandung: Citra Aditya
Bakti, 2006), hal. 30 - 31
[2]
Frianto Pandia dkk. Lembaga Keuangan. ( Jakarta : PT. RINEKA CIPTA,
2005). hal 110-114
[3]
Sunaryo, Hukum Lembaga Pembiayaan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), hal.
47
[4]
http://www.academia.edu/7237483/MAKALAH_LEASING
[5]
Frianto Pandia dkk. Lembaga Keuangan…, hal. 111 - 112
[6]
Sunaryo, Hukum Lembaga… hal. 58
[7]
Frianto Pandia dkk. Lembaga Keuangan…, hal. 115
[8]
Ahmadi Miru, Hukum Kontrak dan Perancangan Kontrak, (Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2008), hal. 2
[9]
Sunaryo. Hukum Lembaga Pembiayaan. (Jakarta : Sinar Grafika, 2008), hlm
60-63
[12]
Undang-undang Republik Indonesia tentang Perlindungan Konsumen Nomor 8 Tahun
1999
[13]
Ahmadi Miru, Hukum Kontrak dan…, hal. 4
[14]
Celina, Tri Siwi, Hukum Perlindungan Konsumen, (Jakarta: Sinar Grafika,
2008), hal.109-110
[15]
Undang-undang Perlindungan Konsumen dan penjelasannya.
[16]
Celina, Tri Siwi, Hukum Perlindungan Konsumen,…, hal. 113