Pasal
17 terdiri dari 2 ayat. Ayat 1 menjelaskan ketika seseorang sudah menunjuk
seorang arbiter dan penunjukan itu disetujui, maka diantara kedua pihak terjadi
perjanjian perdata. Perjanjian perdata adalah perjanjian atau perikatan yang
terjadi antara pihak–pihak terkait. Dalam ayat 2 menjelaskan namun apabila
terjadi penunjukan tersebut dan kedua pihak menyetujui, seorang arbiter harus
bisa memberikan keputusan yang adil dan jujur, karena dalam hal ini seorang
arbiter bersifat netral dan keputusannya mengikat para pihak.
Pasal
18 terdiri dari 2 ayat. Dimana ayat 1 disebutkan bahwa seorang calon arbiter
yang dipilih harus menyampaikan hal-hal yang mungkin saja bisa mengurangi
kenetralan dari arbiter tersebut. Dan dalam ayat 2 mewajibkan seorang arbiter apabila
sudah terjadi penunjukannya maka ia harus memberitahukan penunjukannya kepada
pihak yang lain.
Pasal 19 terdiri dari 4 ayat. Ayat 1
menjelaskan seorang arbiter yang telah menerima penunjukan dan sudah ada
perjanjian tidak bisa dibatalkan kecuali disetujui oleh pihak-pihak tersebut.
Ayat 2 menyebutkan jika arbiter menarik diri maka wajib menyertakan surat
permohonan yang berisi keberatan dan alasan lain. Ayat 3 surat permohonan
tersebut jika sudah masuk maka apabila disetujui para pihak seorang arbiter
tersebut akan terbebas dari tugas arbiternya. Ayat 4 menjelaskan apabila
permohonan penarikan diri tidak mendapat persetujuan para pihak, pembebasan tugas
arbiter ditetapkan oleh Ketua Pengadilan Negeri.
Pasal
20 mennunjukkan jika arbiter tidak mampu memberikan keputusan yang sah dengan
alasan yang tidak jelas maka seorang arbiter itu harus memberikan atau membayar
ganti rugi akibat biaya yang telah dikeluarkan oleh pihak-pihak tersebut.
Pasal
21 menjelaskan jika dalam proses persidangan berlangsung, segala
tindakan/keputusan yang diambil oleh arbiter tidak dapat dibawa ke ranah hukum,
kecuali dapat dibuktikan dengan adanya iktikad tidak baik dari tindakan
tersebut.
Pasal
22 terdiri dari 2 ayat. Ayat 1 menjelaskan bahwa para pihak diberikan
kesempatan mengajukan penolakan terhadap arbiter apabila terdapat keraguan
bahwa arbiter akan melakukan tugasnya secara bebas dan akan berpihak dalam
mengambil keputusan dengan syarat terdapat cukup bukti otentik. Ayat 2
menjelaskan jika tuntutan ingkar yang ditujukan kepada seorang arbiter dapat
pula dilaksanakan apabila telah terbukti adanya hubungan kekeluargaan, keuangan
atau pekerjaan dengan salah satu pihak atau kuasanya.
Pasal
23 terdiri dari 3 ayat. Ayat 1 menjelaskan tentang penolakan yang ditujukan
kepada arbiter yang diangkat oleh Ketua Pengadilan Negeri dapat diajukan kepada
Pengadilan Negeri yang bersangkutan. Sedang ayat 2 penolakan yang ditujukan
kepada arbiter tunggal maka diajukan pula kepada arbiter yang bersangkutan.
Dalam ayat 3 disebutkan bahwa penolakan yang ditujukan kepada anggota majelis
arbitrase diajukan kepada majelis arbitrase yang bersangkutan.
Pasal
24 terdiri dari 6 ayat. Ayat 1 menyebutkan jika seorang arbiter dalam
pengangkatan tidak dengan penetapan pengadilan, maka penolakan dapat didasarkan
karena alasan yang baru diketahui pihak yang tidak setuju setelah pengangkatan
arbiter yang bersangkutan. Ayat 2 menyebutkan jika seorang arbiter yang
diangkat dengan penetapan pengadilan hanya dapat ditolak apabila ada alasan yang
baru diketahui setelah adanya penerimaan penetapan pengadilan. Ayat 3
menjelaskan jika salah satu pihak keberatan terhadap penunjukan seorang arbiter
yang dilakukan oleh pihak lawan/lain, dapat mengajukan penolakan dalam waktu
paling lama 14 hari sejak pengangkatan seorang tersebut. Pada ayat 4 ini dalam
hal alasan yang telah disebutkan pada pasal 22 ayat 1 dan 2 diketahui kemudian,
maka penolakan harus diajukan dalam waktu paling lama 14 hari sejak
diketahuinya hal tersebut. Ayat 5 menjelaskan jika penolakan yang diajukan
harus secara tertulis, baik penolakan yang diajukan kepada pihak lain maupun
kepada pihak arbiter yang bersangkutan dengan menyebutkan alasan penolakannya.
Ayat 6 menjelaskan jika salah salah satu pihak mengajukan penolakan dan tidak
di setujui oleh pihak lain, maka arbiter yang bersangkutan harus mengundurkan
diri dan seorang arbiter pengganti akan ditunjuk sesuai dengan cara yang
ditentukan dalam Undang-undang.
Pasal 25 terdiri dari tiga ayat.
Ayat 1 menjelaskan bahwa jika salah satu pihak mengajukan penolakan namun tidak
disetujui oleh pihak lain dan arbiter yang dituntut juga tidak mau mengundurkan
diri maka pihak yang mengajukan penolakan bisa mengajukan penolakannya ke Ketua
Pengadilan Negeri, karena keputusan Ketua Pengadilan Negeri bisa mengikat para
pihak dan tidak bisa diganggu gugat.
Ayat 2 mempertegas ayat 1, dimana dalam ayat 2 menjelaskan jika memang
tuntutan dalam ayat 1 itu beralasan maka arbiter pengganti harus diangkat
sesuai ketentuan yang berlaku. Sedang dalam ayat 3 bertolak belakang dengan
ayat 1 dan 2 dimana jika Ketua Pengadilan Negeri menolak penolakan yang
diajukan maka arbiter bisa melanjutkan tugasnya kembali.
Pasal 26 terdiri dari lima ayat.
Ayat 1 menjelaskan bahwa wewenang arbiter tidak dapat dibatalkan jika arbiter
meninggal, dan wewenangnya bisa digantikan oleh arbiter pengganti yang telah
diangkat sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Sedangkan ayat 2 disebutkan jika
arbiter terbukti berpihak atau melakukan tindakan yang tidak baik (tidak
pantas) maka bisa dibebastugaskan asalkan dapat dibuktikan lewat jalur hukum.
Dalam ayat 3 disebutkan jika arbiter meninggal, tidak mampu atau mengundurkan
diri maka akan diangkat arbiter pengganti sesuai ketentuan yang berlaku. Lalu
dalam ayat 4 disebutkan jika arbiter tunggal atau ketua majelis arbitrase
diganti maka semua pemeriksaan harus diulang kembali, tetapi jika hanya anggota
majelis yang diganti maka pemeriksaan hanya akan diulang diantara arbiter
sesuai dengan ayat 5.
BAB IV membahas tentang acara yang
berlaku dihadapan majelis arbitrase. Pasal 27 menjelaskan jika semua
pemeriksaan yang dilakukan oleh arbiter atau majelis arbitrase dilakukan secara
tertutup atau hanya diketahui oleh para pihak yang bersangkutan.
Pasal
28 membahas tentang bahasa yang digunakan dalam semua proses arbitrase dengan
bahasa Indonesia, diizinkan menggunakan bahasa lain jika telah mendapatkan
persetujuan arbiter atau majelis arbitrase.
Pasal
29 terdiri dari 2 ayat. Dari ayat 1 diatas dapat diketahui bahwasanya semua
pihak yang bersengketa dalam arbitrase mempunyai hak untuk mengajukan pendapat
demi menyelesaikan sengketa di arbitrase. Selain itu juga semua pihak yang
bersengketa mempunyai kesempatan yang sama dalam mengajukan pendapat untuk menyelesaikan
sengketa yang terjadi. Jadi dapat dikatakan bahwasanya semua pihak yang
bersengketa mempunyai kedudukan yang sama dalam menyelesaikan sengketa di
arbitrase. Sedang dari ayat 2 dapat dipahami bahwasanya para pihak dalam
menyelesaikan sengketa di arbitrase dapat menunjuk seorang/beberapa orang untuk
mewakilinya dalam menyelesaikan sengketa asalkan disertai dengan surat kuasa
khusus yang dapat dipertanggungjawabkan
Pasal
30 menjelaskan jika pihak ketiga yang mempunyai kepentingan terkait dalam
sengketa tersebut namun tidak secara langsung tercantum dalam isi perjanjian
arbitrase dapat ikut serta dalam penyelesaikan sengketa apabila disepakati oleh
para pihak dan disetujui oleh arbiter atau majelis arbitrase
Pasal
31 ayat 1 menyebutkan para pihak yang membuat perjanjian arbitrase diberi
kebebasan untuk menentukan acara arbitrase yang digunakan dalam pemeriksaan di
perjanjian arbitrase tersebut asalkan sesuai dengan pasal 27 sampai pasal 48 UU
Arbitrase ayat 2 menjelaskan jika para pihak tidak menentukan acara arbitrase
yang digunakan dalam pemeriksaan dan arbiter atau majelis arbitrase telah
terbentuk maka acara arbitrase yang digunakan adalah acara arbitrase sesuai
dengan pasal 27 sampai pasal 48. Sedang ayat 3 apabila para pihak telah
menentukan acara arbitrase yang digunakan untuk pemeriksaan maka juga harus
disepakati mengenai jangka waktu yang digunakan dalam penyelesaian sengketa dan
juga tempat untuk penyelesaian sengketa tersebut, namun jika tidak ada
kesepakatan mengenai hal tersebut maka jangka waktu dan tempat arbitrase akan
ditentukani oleh arbiter atau majelis arbitrase.
Pasal 32 terdiri dari 2 ayat. Ayat 1
menyebutkan putusan sela dapat diputuskan oleh arbiter atau majelis arbitrase
apabila ada pihak yang bersengketa memohonkan hal tersebut. Sedang ayat 2 dalam
ketentuan pasal 48 ayat 1 dsebutkan bahwa sengketa harus diselesaikan dalam
jangka waktu paling lama 180 hari. Namun putusan sela bukanlah bagian dari
waktu tersebut sehingga jika terjadi putusan sela jangka waktu penyelesaian
sengketa dapat diperpanjang sebagaimana ketentuan ayat 2 yang menyertakan
ketentuan pasal 33.
Kesimpulan:
1.
Pasal
17 sampai 21 masih membahas mengenai syarat pengangkatan arbiter meliputi penunjukan dan proses
pengangkatan.
2.
Pasal
22 sampai pasal 26 menjelaskan tentang hak ingkar atau penolakan terhadap
pengangkatan arbiter meliputi dari syarat sampai pengajan
penolakan ke pengadilan
3.
Pasal
27 sampai pasal 32 menjelaskan acara yang berlaku dihadapan majelis arbitrase
(pemeriksaan sengketa di arbitrase) bisa memilih sendiri bagaimana acara pemeriksaan yang
berlaku.