Selasa, 01 Maret 2016

Analisis UU Nomor 30 Tahun 1999 : Pasal 17-32



Pasal 17 terdiri dari 2 ayat. Ayat 1 menjelaskan ketika seseorang sudah menunjuk seorang arbiter dan penunjukan itu disetujui, maka diantara kedua pihak terjadi perjanjian perdata. Perjanjian perdata adalah perjanjian atau perikatan yang terjadi antara pihak–pihak terkait. Dalam ayat 2 menjelaskan namun apabila terjadi penunjukan tersebut dan kedua pihak menyetujui, seorang arbiter harus bisa memberikan keputusan yang adil dan jujur, karena dalam hal ini seorang arbiter bersifat netral dan keputusannya mengikat para pihak.
Pasal 18 terdiri dari 2 ayat. Dimana ayat 1 disebutkan bahwa seorang calon arbiter yang dipilih harus menyampaikan hal-hal yang mungkin saja bisa mengurangi kenetralan dari arbiter tersebut. Dan dalam ayat 2 mewajibkan seorang arbiter apabila sudah terjadi penunjukannya maka ia harus memberitahukan penunjukannya kepada pihak yang lain.
 Pasal 19 terdiri dari 4 ayat. Ayat 1 menjelaskan seorang arbiter yang telah menerima penunjukan dan sudah ada perjanjian tidak bisa dibatalkan kecuali disetujui oleh pihak-pihak tersebut. Ayat 2 menyebutkan jika arbiter menarik diri maka wajib menyertakan surat permohonan yang berisi keberatan dan alasan lain. Ayat 3 surat permohonan tersebut jika sudah masuk maka apabila disetujui para pihak seorang arbiter tersebut akan terbebas dari tugas arbiternya. Ayat 4 menjelaskan apabila permohonan penarikan diri tidak mendapat persetujuan para pihak, pembebasan tugas arbiter ditetapkan oleh Ketua Pengadilan Negeri.
Pasal 20 mennunjukkan jika arbiter tidak mampu memberikan keputusan yang sah dengan alasan yang tidak jelas maka seorang arbiter itu harus memberikan atau membayar ganti rugi akibat biaya yang telah dikeluarkan oleh pihak-pihak tersebut.
Pasal 21 menjelaskan jika dalam proses persidangan berlangsung, segala tindakan/keputusan yang diambil oleh arbiter tidak dapat dibawa ke ranah hukum, kecuali dapat dibuktikan dengan adanya iktikad tidak baik dari tindakan tersebut.
Pasal 22 terdiri dari 2 ayat. Ayat 1 menjelaskan bahwa para pihak diberikan kesempatan mengajukan penolakan terhadap arbiter apabila terdapat keraguan bahwa arbiter akan melakukan tugasnya secara bebas dan akan berpihak dalam mengambil keputusan dengan syarat terdapat cukup bukti otentik. Ayat 2 menjelaskan jika tuntutan ingkar yang ditujukan kepada seorang arbiter dapat pula dilaksanakan apabila telah terbukti adanya hubungan kekeluargaan, keuangan atau pekerjaan dengan salah satu pihak atau kuasanya.
Pasal 23 terdiri dari 3 ayat. Ayat 1 menjelaskan tentang penolakan yang ditujukan kepada arbiter yang diangkat oleh Ketua Pengadilan Negeri dapat diajukan kepada Pengadilan Negeri yang bersangkutan. Sedang ayat 2 penolakan yang ditujukan kepada arbiter tunggal maka diajukan pula kepada arbiter yang bersangkutan. Dalam ayat 3 disebutkan bahwa penolakan yang ditujukan kepada anggota majelis arbitrase diajukan kepada majelis arbitrase yang bersangkutan.
Pasal 24 terdiri dari 6 ayat. Ayat 1 menyebutkan jika seorang arbiter dalam pengangkatan tidak dengan penetapan pengadilan, maka penolakan dapat didasarkan karena alasan yang baru diketahui pihak yang tidak setuju setelah pengangkatan arbiter yang bersangkutan. Ayat 2 menyebutkan jika seorang arbiter yang diangkat dengan penetapan pengadilan hanya dapat ditolak apabila ada alasan yang baru diketahui setelah adanya penerimaan penetapan pengadilan. Ayat 3 menjelaskan jika salah satu pihak keberatan terhadap penunjukan seorang arbiter yang dilakukan oleh pihak lawan/lain, dapat mengajukan penolakan dalam waktu paling lama 14 hari sejak pengangkatan seorang tersebut. Pada ayat 4 ini dalam hal alasan yang telah disebutkan pada pasal 22 ayat 1 dan 2 diketahui kemudian, maka penolakan harus diajukan dalam waktu paling lama 14 hari sejak diketahuinya hal tersebut. Ayat 5 menjelaskan jika penolakan yang diajukan harus secara tertulis, baik penolakan yang diajukan kepada pihak lain maupun kepada pihak arbiter yang bersangkutan dengan menyebutkan alasan penolakannya. Ayat 6 menjelaskan jika salah salah satu pihak mengajukan penolakan dan tidak di setujui oleh pihak lain, maka arbiter yang bersangkutan harus mengundurkan diri dan seorang arbiter pengganti akan ditunjuk sesuai dengan cara yang ditentukan dalam Undang-undang.
            Pasal 25 terdiri dari tiga ayat. Ayat 1 menjelaskan bahwa jika salah satu pihak mengajukan penolakan namun tidak disetujui oleh pihak lain dan arbiter yang dituntut juga tidak mau mengundurkan diri maka pihak yang mengajukan penolakan bisa mengajukan penolakannya ke Ketua Pengadilan Negeri, karena keputusan Ketua Pengadilan Negeri bisa mengikat para pihak dan tidak bisa diganggu gugat.  Ayat 2 mempertegas ayat 1, dimana dalam ayat 2 menjelaskan jika memang tuntutan dalam ayat 1 itu beralasan maka arbiter pengganti harus diangkat sesuai ketentuan yang berlaku. Sedang dalam ayat 3 bertolak belakang dengan ayat 1 dan 2 dimana jika Ketua Pengadilan Negeri menolak penolakan yang diajukan maka arbiter bisa melanjutkan tugasnya kembali.
            Pasal 26 terdiri dari lima ayat. Ayat 1 menjelaskan bahwa wewenang arbiter tidak dapat dibatalkan jika arbiter meninggal, dan wewenangnya bisa digantikan oleh arbiter pengganti yang telah diangkat sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Sedangkan ayat 2 disebutkan jika arbiter terbukti berpihak atau melakukan tindakan yang tidak baik (tidak pantas) maka bisa dibebastugaskan asalkan dapat dibuktikan lewat jalur hukum. Dalam ayat 3 disebutkan jika arbiter meninggal, tidak mampu atau mengundurkan diri maka akan diangkat arbiter pengganti sesuai ketentuan yang berlaku. Lalu dalam ayat 4 disebutkan jika arbiter tunggal atau ketua majelis arbitrase diganti maka semua pemeriksaan harus diulang kembali, tetapi jika hanya anggota majelis yang diganti maka pemeriksaan hanya akan diulang diantara arbiter sesuai dengan ayat 5.
            BAB IV membahas tentang acara yang berlaku dihadapan majelis arbitrase. Pasal 27 menjelaskan jika semua pemeriksaan yang dilakukan oleh arbiter atau majelis arbitrase dilakukan secara tertutup atau hanya diketahui oleh para pihak yang bersangkutan.
Pasal 28 membahas tentang bahasa yang digunakan dalam semua proses arbitrase dengan bahasa Indonesia, diizinkan menggunakan bahasa lain jika telah mendapatkan persetujuan arbiter atau majelis arbitrase.
Pasal 29 terdiri dari 2 ayat. Dari ayat 1 diatas dapat diketahui bahwasanya semua pihak yang bersengketa dalam arbitrase mempunyai hak untuk mengajukan pendapat demi menyelesaikan sengketa di arbitrase. Selain itu juga semua pihak yang bersengketa mempunyai kesempatan yang sama dalam mengajukan pendapat untuk menyelesaikan sengketa yang terjadi. Jadi dapat dikatakan bahwasanya semua pihak yang bersengketa mempunyai kedudukan yang sama dalam menyelesaikan sengketa di arbitrase. Sedang dari ayat 2 dapat dipahami bahwasanya para pihak dalam menyelesaikan sengketa di arbitrase dapat menunjuk seorang/beberapa orang untuk mewakilinya dalam menyelesaikan sengketa asalkan disertai dengan surat kuasa khusus yang dapat dipertanggungjawabkan
Pasal 30 menjelaskan jika pihak ketiga yang mempunyai kepentingan terkait dalam sengketa tersebut namun tidak secara langsung tercantum dalam isi perjanjian arbitrase dapat ikut serta dalam penyelesaikan sengketa apabila disepakati oleh para pihak dan disetujui oleh arbiter atau majelis arbitrase
Pasal 31 ayat 1 menyebutkan para pihak yang membuat perjanjian arbitrase diberi kebebasan untuk menentukan acara arbitrase yang digunakan dalam pemeriksaan di perjanjian arbitrase tersebut asalkan sesuai dengan pasal 27 sampai pasal 48 UU Arbitrase ayat 2 menjelaskan jika para pihak tidak menentukan acara arbitrase yang digunakan dalam pemeriksaan dan arbiter atau majelis arbitrase telah terbentuk maka acara arbitrase yang digunakan adalah acara arbitrase sesuai dengan pasal 27 sampai pasal 48. Sedang ayat 3 apabila para pihak telah menentukan acara arbitrase yang digunakan untuk pemeriksaan maka juga harus disepakati mengenai jangka waktu yang digunakan dalam penyelesaian sengketa dan juga tempat untuk penyelesaian sengketa tersebut, namun jika tidak ada kesepakatan mengenai hal tersebut maka jangka waktu dan tempat arbitrase akan ditentukani oleh arbiter atau majelis arbitrase.
Pasal 32 terdiri dari 2 ayat. Ayat 1 menyebutkan putusan sela dapat diputuskan oleh arbiter atau majelis arbitrase apabila ada pihak yang bersengketa memohonkan hal tersebut. Sedang ayat 2 dalam ketentuan pasal 48 ayat 1 dsebutkan bahwa sengketa harus diselesaikan dalam jangka waktu paling lama 180 hari. Namun putusan sela bukanlah bagian dari waktu tersebut sehingga jika terjadi putusan sela jangka waktu penyelesaian sengketa dapat diperpanjang sebagaimana ketentuan ayat 2 yang menyertakan ketentuan pasal 33.

Kesimpulan:
1.      Pasal 17 sampai 21 masih membahas mengenai syarat pengangkatan arbiter meliputi penunjukan dan proses pengangkatan.
2.      Pasal 22 sampai pasal 26 menjelaskan tentang hak ingkar atau penolakan terhadap pengangkatan  arbiter meliputi dari syarat sampai pengajan penolakan ke pengadilan
3.      Pasal 27 sampai pasal 32 menjelaskan acara yang berlaku dihadapan majelis arbitrase (pemeriksaan sengketa di arbitrase) bisa memilih sendiri bagaimana acara pemeriksaan yang berlaku.