Senin, 09 November 2015

Leasing Kendaraan Bermotor


MAKALAH
“Perlindungan Konsumen terhadap Leasing Kendaraan Bermotor”

Makalah ini di susun untuk memenuhi tugas mata kuliah
“Hukum Perlindungan Konsumen”

Dosen Pengampu :

Dr. Zulfatun Nikmah, M.Ag.



Disusun oleh:
Kelompok 03

1.   Azzatul Kharimah     (2821133003)
2.   Imam Mahmudi         (2821133007)
3.   Zahra’a unnisa           (2821133016)
4.   Novita Tunjung sari   (2821133020)

Fakultas Syari’ah dan Ilmu Hukum
Jurusan Hukum Ekonomi Syariah (HES) Semester 5
Institut Agama Islam Negeri Tulungagung
(IAIN) Tulungagung
Tahun Akademik 2015



KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmad serta hidayah-Nya kepada penulis sehingga penulis bisa menyelesaikan makalah ini dengan baik dan tepat waktu. Tak lupa sholawat serta salam semoga tetap terlimpahkan kepada Nabi besar kita Muhammad SAW yang telah menuntun kita dari zaman jahiliyah menuju zaman Islamiyah yang terang benderang ini.
Ucapan terimakasih tak lupa penulis sampaikan kepada pihak-pihak yang telah ikut membantu dalam terselesaikannya makalah ini, antara lain:
1. Ibu Dr. Zulfatun Nikmah, M.Ag., selaku dosen Hukum Perlindungan Konsumen yang telah memberikan penjelasan dan petunjuk terkait dengan tema makalah ini.
2. Kedua orang tua penulis yang telah membantu penulis baik dalam sumbangan secara materi maupun nonmateri
3. Pihak-pihak lain yang tidak bisa disebutkan satu persatu yang ikut serta dalam pembuatan makalah ini
Sebagai seorang insan yang beriman, kita diwajibkan untuk menuntut ilmu. Walau usia sudah renta bukan  jadi alasan seseorang untuk berhenti mencari dan mengamalkan ilmu pengetahuan. Oleh karena itu, makalah ini sebagai hasil upaya keras kami yang telah melakukan pembahasan dan pencermatan berbagai sumber guna menganalisis Perlindungan Konsumen terhadap Leasing kendaraan bermotor. Meskipun tidak menutup kemungkinan masih terdapat kekurangan dan kekeliruan. Terlepas dari kekurangan itu semoga usaha kami ini dapat memberikan manfaat bagi semua khususnya para mahasiswa IAIN Tulungagung dalam proses pembelajaran.
Tulungagung, 07 November 2015


Tim Penyusun



DAFTAR ISI

  Halaman Cover........................................................................................................ i
  Kata Pengantar........................................................................................................ ii
  Daftar Isi.................................................................................................................. iii
  BAB I PENDAHULUAN
A.           Latar Belakang............................................................................................. 1
B.            Rumusan Masalah........................................................................................ 2
C.            Maksud dan Tujuan..................................................................................... 2
      BAB II PEMBAHASAN
A.           Leasing.........................................................................................................3  
B.            Pengertian dan Perkembangan Leasing kendaraan bermotor......................... 4                       
C.            Mekanisme Leasing kendaraan bermotor..................................................5                                   
D.           Sengketa dan Perlindungan Konsumen terhadap leasing kendaraan bermotor.. 7
E.            Undang-Undang Leasing kendaraan bermotor............................................ 11                     

BAB III PENUTUP
Kesimpulan.............................................................................................................. 15
DAFTAR  PUSTAKA.......................................................................................... 17





BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Sewa Guna Usaha (Leasing) merupakan suatu bentuk usaha yang dapat dijadikan alternative guna mengatasi kesulitan permodalan dalam rangka pembiayaan suatu perusahaan. Dalam hal ini banyak sekali masyarakat yang sangat tergiur untuk melakukan pembiayaan dengan menggunakan pihak leasing, karena persyaratan dalam leasing ini tidak memberatkan serta system pendanaanya yang fleksibel, kondisi ini yang menyebabkan perusahaan leasing bergerak dengan cepat di Indonesia.
Didalam perusahaan-perusahaan yang mempunyai produk Leasing mereka akan memberikan tawaran-tawaran yang sangat menggiurkan lewat depcolektor kepada para nasabah (orang yang menginginkan jasa Leasing tersebut). Seperti yang kita ketahui di masyarakat saat ini depcolektor berperan sangat aktif dalam mengemban tugasnya yaitu mengingatkan para nasabah agar nasabah tersebut rutin membayar cicilan yang telah ditentukan oleh perusahaan tersebut. Jika para nasabah belum bisa membayar angsuran yang telah ditentukan oleh perusahaan maka depcolektor akan memberikan pinalti atau atau mengambil barang tersebut secara paksa.
Dalam perusahaan Leasing ini mereka menggunakan system perjanjian jual beli dan sewa menyewa. Sewa Guna (Leasing) merupakan suatu perjanjian yang lahir karena adanya ciptaan praktek yang ada di masyarakat, sehingga KUHPdt di Indonesia tidak mengaturnya. Sebagai bentuk perjanjian baru yang tidak diatur di dalam KUHPdt, bukan berarti bentuk perjanjian Leasing ini terpisah dari ketentuan-ketentuan yang ada di dalam masyarakat. Perjanjian Leasing merupakan penggabungan dari perjanjian jual beli dan sewa menyewa, sehingga perjanjian Leasing memiliki substansi yang didalamnya menyangkut pengertian menyewa dan jual beli. Hal tersebut dapat ditemukan dalam rumusan dan ketentuan mengenai perjanjian Leasing.
Ada sejumlah UU yang berkaitan dengan kegiatan menghasilkan serta memperdagangkan barang dan jasa, dalam hal ini semua pelaku usaha wajib beriktikad baik dalam menjalan usahanya, termasuk dalam memperdagangkan barang dan jasa, sehubungan dengan hal itu, konsumen perlu dilindungi sebab melindungi konsumen berarti menjamin kelangsungan pembangunan nasional.[1]

B.     Rumusan Masalah
1.        Apa pengertian dari Leasing ?
2.        Bagaimana pengertian dan Perkembangan Leasing kendaraan bermotor ?
3.        Bagamanakah mekanisme leasing kendaraan bermotor?
4.        Bagaimana Undang-Undang leasing kendaraan bermotor ?
5.        Bagaimana Sengketa sarta bentuk Perlindungan Konsumen terhadap leasing kendaraan bermotor?

C.         Tujuan Penulisan
1.        Untuk mengetahui pengertian dari leasing
2.        Untuk mengetahui pengertian leasing kendaraan bermotor dan perkembangannya
3.        Untuk mengetahui mekanisme leasing kendaraan bermotor
4.        Untuk mengetahui Undang-undang leasing kendaraan bermotor
5.        Untuk mengetahui bagaimana sengketa leasing serta Perlindungan Konsumen terhadap leasing kendaraan bermotor






BAB II
PEMBAHASAN

A.      Pengertian Leasing
Secara bahasa leasing berasal dari kata “to lease” artinya menyewakan. Secara Istilah leasing adalah suatu perjanjian dimana lessor menyediakan barang asset dengan penggunaan alih lessee dengan imbalan pembayaran sewa untuk jangka waktu tertentu. Leasing dapat juga diartikan sebagai kegiatan pembiayaan dalam bentuk penyediaan barang modal baik secara sewa guna usaha dengan hak opsi (finance lease)  maupu sewa guna usaha tanpa hak opsi atau (operating lease) untuk digunakan oleh lease dalm jangga waktu tertentu berdasarkan pembayran secara berkala. Financial lease adalah kegiatan leasing dimana pada akhir perjanjian leasing mempunyai hak opsi untuk membeli objek leasing berdasarkan nilai sisa yang disepakati. Operating lease adalah setiap kegiatan leasing dimana lease pada akhir kontrak tidak mempunyai hak opsi untuk membeli objek leasing.
Pelaku-pelaku leasing:          
1.         Lessor adalah pihak yang memberikan jasa pembiayaan kepada lease dalam bentuk penyewaan barang modal. Dalam financial leasing, lessor memperoleh kembali biaya yang telah dikeluarkan untuk membiayai penyediaan barang modal dengan memperoleh laba, sedangkan dalam operating leasing lessor memperoleh untung dari penyediaan barang serta pemberian jasa-jasa pemeliharaan dan pengoperasian barang modal.
2.         Leassee adalah yang menyewa barang. Dalam operating lease, lease dapat memenuhi kebutuhan peralatan, tenaga operator dan perawatan alat tanpa resiko.
3.         Supplier adalah pihak yang menyediakan barang untuk dijual kepada lease dengan pembayaran tunai kepada lessor.
4.         Bank atau kredit adalah pihak yang menyediakan dana kepada lessor atau supplier.[2]
B. Pengertian dan Perkembangan Leasing Kendaraan Bermotor
Perusahaan sewa guna usaha di Indonesia lebih dikenal dengan nama Leasing. Leasing adalah perjanjian (kontrak) antara lessor dan lessee untuk menyewa suatu jenis barang modal tertentu yang dipilih atau yang ditentukan oleh lesse. Hak atas kepemilikan barang modal tersebut ada pada lessor, adapun lesse hanya menggunakan barang modal tersebut berdasarkan pembayaran uang sewa yang telah ditentukan dalam suatu jangka waktu tertentu.[3]
Jadi dalam hal ini dapat ditarik kesimpulan bahwa Leasing Kendaraan Bermotor adalah suatu perjanjian kontrak antara pemberi modal dengan yang penerima modal guna untuk menyewa barang tertentu yang dalam hal ini adalah motor.
Kegiatan utama leasing adalah bergerak di bidang pembiayaan untuk keperluan barang-barang modal yang diinginkan oleh nasabah. Pembiayaan yang dimaksud jika seorang nasabah membutuhkan barang-barang modal, yang dalam hal ini sepeda motor dengan cara disewa atau dibeli secara kredit, dapat diperoleh diperusahaan leasing. Pihak Leasing dapat membiayai keinginan nasabah dengan perjanjian yang telah disepakati kedua pihak. Dan pihak leasing menyediakan barang dengan hak penggunaan oleh lessee (nasabah) dengan imbalan pembayaran sewa untuk jangka waktu tertentu.[4]
·      Perkembangan Leasing di Indonesia
Usaha leasing (sewa guna usaha) sebenarnya sudah ada sejak tahun 2000 sebelum masehi yang dilakukan oleh orang-orang Sumeria. Dokumen-dokumen yang ditemukan dari kebudayaan Sumeria menunjukkan bahwa transaksi leasing meliputi leasing peralatan, penggunaan tanah dan binatang piaraan. Kegiatan Leasing diperkenalkan untuk pertama kali di indonesia pada tahun 1974 dengan di keluarkannya Surat Keputusan Bersama Menteri Keuangan, Menteri Perdagangan dan Menteri Perindustrian No. Kep.122/MK/2/1974,  No.32/M/SK/1974 dan No. 30/Kpb/1/1974 Tanggal 7 februari tahun 1974 tentang “Perijinan usaha Leasing”.
Menteri Keuangan selanjutnya mengeluarkan SK No. 650/MK/IV/5/1974 tanggal 6 Mei 1974 karena sejak saat itu jumlah perusahaan Leasing dari tahun ke tahun mengalami kemajuan dan SK tersebut dgunakan untuk mengatur/acuan untuk membiayai penyediaan barang-barang modal dunia usaha, serta untuk mendukung perkembangan usaha ini leasing ini.
 Selanjutnya, tanggal 20 Desember 1988 dengan kebijakan deregulasi, perusahaan pembiayaan yang meliputi usaha leasing diatur dalam paket tersebut deregulasi tersebut. Dengan berlakunya paket kebijakan tersebut ketentuan leasing sebelumnya dinyatakan tidak berlaku.
Dalam paket tersebut juga diperkenalkan suatu istilah lembaga pembiayaan yaitu badan usaha yang melakukan suatu kegiatan pembiayaan dalam bentuk penyediaan dana atau barang modal dengan tidak menarik dana secara langsung dari masyarakat. Hadirnya perusahaan sewa guna usaha patungan (joint venture) bersama perusahaan nasional telah mampu mempopulerkan peranan kegiatan sewa guna sebagai alternatif pembiayaan barang modal.[5]

C.  Mekanisme  Leasing
      Mekanisme leasing di Indonesia sebagaimana berikut:
1. Lesse (nasabah) menghubungi pemasok untuk pemilihan dan penentuan jenis barang, spesifikasi barang, harga, jangka waktu penagihan dan jaminan purna jual atas barang yang akan disewa.
2. Lesse (nasabah) melakukan negosiasi dengan lessor mengenai kebutuhan pembiayaan barang modal. Dalam hal ini lesse dapat meminta lease quotation yang tidak mengikat dari lessor. Dalam quotation terdapat syarat-syarat pokok pembiayaan leasing, antara lain: keterangan barang, harga barang, cash securitydeposit, residual value, asuransi, biaya administrasi, jaminan uang sewa (leaserental), dan persyaratan-persyaratan lainnya.
3. Lessor mengirimkan letter of offer atau comittment letter kepada lessee yang berisi syarat-syarat pokok persetujuan lessor untuk membiayaai barang modal yang dibutuhkan, lessee menandatangani dan mengembalikannya kepaada lessor.
4. Penandatangan kontrak leasing setelah semua persyaratan dipenuhi oleh lease (nasabah), yaitu dimana kontrak tersebut mencakup dalam hal-hal: pihak-pihak yang terlibat,hak milik, jangka waktu, jasa leasing, opsi bagi lessee, penutupan asuransi,tanggung jawab dan objek leasing, perpajakan jadwal pembayaran angsuransewa dan sebagainya.
5. Pengiriman order beli kepada pemasok disertai instruksi pengiriman 
barang kepada lessee sesuai dengan tipe dan spesifikasi barang yang telah disetujui.
6. Pengiriman barang & pengecekan barang oleh lessee sesuai pesanan serta menandatangani surat tanda terima dan perintah bayar selanjutnya diserahkan kepada pemasok.
7. Penyerahan dokumen oleh pemasok kepada lessor termasuk faktur bukti-bukti kepemilikan barang lainnya.
8. Pembayaran oleh lessor kepada pemasok
9. Pembayaran sewa (lease payment) secara berkala oleh lessee kepada lessor selama masa leasing yang seluruhnya mencakup pengembalian jumlah yang dibiayai beserta bunganya.[6]
           
Dalam Leasing (sewa guna usaha) kendaraan bermotor yang mencakup teknik transaksi antara lessor dan lesse  dapat digunakan jenis Finance Lease. Seperti yang telah dikemukakan diatas mengenai Finance Lease. Finance Lease ini lebih sering diterapkan dalam praktik. Karena pada jenis ini lesse menghubungi lessor untuk memilih, memesan, memeriksa dan memelihara barang modal yang dibutuhkan selama masa sewa lesse membayar sewa secara berkala dari jumlah seluruhnya ditambah dengan pembayaran nilai sisa (residual value). Dalam hal ini pada masa akhir kontrak lesse memiliki hak opsi atas barang modalnya untuk mengembalikan, membeli atau memperpanjang masa kontraknya.
Dengan demikian karakteristik Finance Lease adalah:
a.         Barang modal bisa dalam bentuk barang bergerak atau tidak bergerak yang berumur maksimum sama dengan masa kegunaan ekonomis barang tersebut.
b.        Barang modal tetap milik lessor sampai berlakunya hak opsi.
c.         Jumlah sewa yang dibayar secara angsuran perbulan meliputi biaya perolehan barang ditambah biaya-biaya lain dan keuntungan(spread) yang diharapkan lessor.
d.        Besarnya harga sewa dan hak opsi harus menutupi harga barang ditambah keuntungan yang diharapkan lessor.
e.         Jangka waktu berlakunya kontrak leasing relative panjang.
f.         Resiko biaya pemeliharaan, kerusakan, pajak dan asuransi ditanggung oleh lesse.
g.        Kontrak sewa guna usaha tidak dapat dibatalkan sepihak oloeh lessor (non cancellable)
h.        Pada masa akhir kontrak lesse diberi hak opsi untuk mengembalikan atau membeli barang modal tersebut atau memperpanjang masa kontraknya.[7]

D. Undang Undang serta Peraturan mengeanai Leasing
Pasal 9 ayat (1) Keputusan Menteri Keuangan No.1169/KMK.01/1991 tentang kegiatan Sewa Guna Usaha ditentukan bahwa setiap transaksi Sewa Guna Usaha wajib diikat dalam suatu perjanjian Sewa Guna Usaha (lease agreement). Adapun dalam pengumuman Direktur Jenderal Moneter No. Peng.307/DJM/III.1/7/1974 menyebutkan bahwa untuk kepentingan pengawasan dan pembinaan, para pengusaha leasing diharuskan menyampaikan kepada Direktur Jenderal, Departemen Keuangan, antara lain “Kopi Kontrak Leasing… dan sebagainya”. Dari kedua ketentuan di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa kegiatan Sewa Guna Usaha merupakan suatu bentuk perjanjian yang dibuat secara tertulis (kontrak).[8]
Perjanjian tertulis (Kontrak) dalam sewa guna usaha ini tidak ditentukan atau tidak diwajibkan apakah harus dibuat dalam bentuk akta autentik/ akta notaris atau akta dibawah tangan. Baik dalam bentuk akta autentik/ akta notaris maupun akta dibawah tangan sama-sama mempunyai kekuatan hokum, yang membedakan hanyalah pada segi hokum pembuktiannya. Menurut pasal 1870 KUHPdt bukti yang paling kuat adalah bukti dalam bentuk akta autentik. Adapun akta dibawah tangan baru mempunyai kekuatan pembuktian jika pihak yang menandatangani akta tersebut mengakui tanda tangannya dalam akta tersebut. Mengingat hal tersebut, dalam praktik banyak perusahaan sewa guna usaha yang membuat kontrak Sewa Guna Usaha secara notarial/autentik, apabila jika nilai sewa guna usanhanya dalam jumlah yang besar.
Mengenai isi kontrak sewa guna usaha, baik dalam Pengumuman Direktur Jenderal Moneter No. Peng.307/DJM/III.1/7/1974 maupun dalam Keputusan Menteri Keuangan No.1169/KMK.01/1991 tentang Kegiatan Sewa Guna Usaha sudah menentukan hal-hal apakah yang minimal harus dimuat dalam kontrak Sewa Guna Usaha. Namun demikian, menurut Eddy P. Soekadi (1990, hlm 154) suatu kontra Sewa Guna Usaha yang lengkap memuat hal-hal mengenai subjek perjanjian, objek perjanjian, jangka waktu, imbalan jasa sewa serta cara pembayarannya, hak opsi bagi lesse, kewajiban perpajakan, penutupan asuransi, tanggungjawab atas objek perjanjian, akibat kejadian lalai, serta akibat rusak atau hilangnya objek perjanjian Sewa Guna Usaha.
1.      Subjek Perjanjian Sewa Guna Usaha.
Subjek yang terlibat dalam perjanjian Sewa Guna Usaha adalah lessor dan Lesse. Yang boleh menjadi lessor adalah hanya pihak yang dengan tegas diizinkan untuk berusaha dalam bidang sewa guna usaha. Adapun yang menjadi lessee adalah Badan Usaha atau perorangan yang mempunyai izin usaha.
2.      Objek Perjanjian Sewa Guna Usaha
Objek perjanjian Sewa Guna Usaha adalah barang modal yang dibeli oleh lessor atas permintaan lessee. Barang modal tersebut dapat berupa barang bergerak maupun barang tidak bergerak. Dalam kepastian hokum bagi semua pihak maka penjelasan mengenai objek barang modal ini harus diperinci secara jelas mengenai jenis, jumlah, lokasi, dan lain-lainnya.
3.      Jangka waktu Perjanjian Sewa Guna Usaha
Jangka waktu perjanjian Sewa Guna Usaha dimulai sejak saat lessee menerima barang modal sampai dengan perjanjian sewaguna usaha berakhir sesuai dengan waktu yang telah disepakati bersama. Jika terjadi kelalaian, lessor berhak untuk mengakhiri perjanjian Sewa Guna Usaha tersebut, sebaliknya lessee tidak dapat mengakhiri perjanjian selama perjanjian masih berjalan. Ketentuan ini dapat disimpangi asalkan lessee dapat memenuhi syarat-syarat tertentu, misalnya bila lesse bisa membayar tunai kepada lessor semua jumlah yang terutang berdasarkan perjanjian Sewa Guna Usaha.
4.      Imbalan Jasa Sewa Guna Usaha dan cara pembayarannya
Imbalan Jasa Sewa Guna Usaha adalah bagian dari pembayaran sewa guna usaha yang diperhtungkan sebagai pendapatan sewa guna usaha lessor. Imbalan jasa ini meliputi antara lain biaya untuk mendapatkan barang modal (termasuk didalamnya biaya pengangkutan, pemasangan, asuransi), biaya bunga atas dana untuk membeli barang modal, spread atau marjin yang merupakan keuntungan bagi lessor, serta biaya pajak.
5.      Hak Opsi
Dalam Finance Lease, lesse mempunyai hak opsi untuk membeli barang modal pada akhir masa perjanjian Sewa Guna Usaha. Besarnya harga barang tersebut sesuai dengan nilai sisa ( residual value )  pada akhir masa kontrak. Apabila lessee tidak menggunakan hak opsi ini, lessee dapat memperpanjang perjanjian sewa guna usaha atau mengembalikan barang modal tersebut pada lessor.
6.      Kewajiban Perpajakan
Atas adanya barang modal serta perjanjian sewa guna usaha antara lessor dan lessee, jika ada beban pajak yang harus dibayar, maka lessee yang bertanggungjawab atas biaya tersebut.
7.    Penutupan Asuransi
Semua kerugian akibat kerusakan atau kehilangan barang modal menjadi tanggungjawab lessee. Untuk menghindari resiko ini lessee harus mengasuransikan barang tersebut atas biaya dari lessee. Jika terjadi musibah atas barang tersebut lessor yang berhak untuk menerima penggantian dari perusahaan asuransi. Seandainya lease lalai untuk mengasuransikan barang tersebut, lessor berhak untuk mengasuransikan barang tersebut atas biaya asuransi tersebut, lessor berhak untuk menagih kepada lessee.
8.      Tanggungjawab atas Objek Perjanjian Sewa Guna Usaha
Lessee wajib untuk menjaga serta melihat barang modal tersebut secara baik dan layak.
9.      Akibat Kejadian Lalai
Apabila lessee lalai untuk melakukan kewajibannya membayar sewa, lessor berhak untuk menagih semua pembayaran yang masih terutang dan menerima kembali barang modalnya.   
10.  Akibat Rusak atau Hilangnya objek Perjanjian Sewa Guna Usaha
Jika terjadi barang modal rusak atau hilang lessee berkewajiban untuk membayar seluruh imbalan jasa sewa. Namun, untuk hal ini hedaknya perlu diperhatikan atas bunga yang terkandung dalam sewa. Jika lessee dapat mengembalikan lebih awal tentunya bunga tersebut dipotong dalam jangka waktu yang belum dijalaninya.[9]

E. Sengketa Leasing serta Perlindungan Konsumen terhadap Kendaraan Bermotor
Adanya fasilitas kredit dalam membeli kendaraan bermotor mempermudah masyarakat untuk memiliki kendaraan sendiri. Namun ada saja orang yang terbelit masalah ketika mengambil kredit kendaraan bermotor karena belum sepenuhnya memahami aturan yang melingkupinya. Mengambil kredit kendaraan bermotor dari bank atau leasing memiliki aturannya sendiri-sendiri. Umumnya kredit dari bank lebih ringan karena bunga lebih rendah. Namun kredit dari leasing lebih mudah didapat karena syarat yang lebih longgar.[10]
Di Solo, Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) mencatat laporan aduan terkait jasa lembaga pembiayaan atau leasing, terutama mengenai kendaraan bermotor yang paling mendominasi. BPSK mencatat salah satu pelanggaran yang dilakukan oleh sejumlah lembaga pembiayaan tersebut adalah mengubah akad perjanjian kredit menjadi pembayaran tunggal.[11] Hal ini bertentangan dengan pasal 18 Undang-Undang Perlindungan Konsumen yang berbuyi:
 “pelaku usaha dalam menawarkan barang dan atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang membuat atau mencantumkan klausula baku pada setiap dokumen dan atau perjanjian apabila : menyatakan peralian tanggungjawab pelaku usaha”.[12]
Kemudian sengketa konsumen mengenai leasing kendaraan bermotor diantaranya adalah:
1.    Kredit Macet
  Permasalahan kredit macet ini, sering dialami oleh perusahaan leasing yang hal itu dilakukan oleh nasabah.  Nasabah dalam hal ini tidak mampu membayar angsuran beberapa kali sehigga terjadi kemacetan dalam hal angsuran. Sehingga kebanyakan para perusahaan memperlakukan para nasabah tidak semestinya, seperti mengambil paksa barang yang digunakan oleh nasabah yang dalam hal ini adalah kendaraan bermotor.
2.    Penggelapan Barang
  Selain kredit macet ada pula permasalahan mengenai penggelapan barang, penggelapan barang yang dalam hal ini kendaraan motor  sering dilakukan oleh nasabah. Yaitu ketika seorang nasabah masih dalam jangka waktu pembayaran dan ia belum memiliki hak opsi untuk membeli, namun nasabah melakukan sebuah perjanjian sendiri berupa penyewaan atau jual beli diluar sepengetahuan pihak perusahaan.
Setelah  terjadi hal hal seperti diatas solusi yang selalu digunakan oleh pihak perusahaan atau lesse adalah dengan menarik paksa barang dari pihak nasabah. Pelanggaran konsumen seperti inilah yang selalu menjadi permasalahan dalam sebuah kegiatan leasing. Karena sebagian besar konsumen Indonesia enggan berperkara ke pengadilan, padahal telah sangat dirugikan oleh pengusaha. Sedangkan Pihak leasing selalu beranggapan bahwa hal itu sudah tertulis dalam sebuah kontarak perjanjian.
Perjanjian merupakan salah satu sumber perikatan, yang dapat dikatakan sebagai sumber formal hukum yang utama dalam transaksi konsumen, misalnya seperti diatas tadi mengenai atau terkait dengan keberadaan perjanjian standar (baku), yang merupakan pelanggaran konsumen dalam hal kebebasan berkontrak dari pihak konsumen.
Sebagaimana dimuat dalam KUH Perdata, salah satu asas penting dalam sebuah perjanjian ialah prinsip kebebasan berkontrak.[13] Dalam asas ini terdapat empat syarat sah suatu perjanjian, yaitu:
1.    Kesepakatan kedua belah pihak
2.    Kecakapan
3.    Suatu pokok persoaloan tertentu
4.    Suatu sebab yang halal.
Dua syarat yang pertama merupkan syarat subjektif, sedangkan dua syarat terakhir merupakan syarat objektif. Pelanggaran syarat subjektif menyebabkan perjanjian tersebut terancam untuk dapat dimintakan pembatalannya, sedangkan bila syarat objektif tidak terpenuhi maka perjanjian tersebut terancam batal demi hukum.[14]
Pasal 1321 KUH Perdata menyebutkan 3 alasan untuk melakukan pembatalan perjanjian. Yakni
1)   Kekhilafan
2)   Paksaan
3)   Penipuan
Selain itu ada pula mengenai penyalahgunaan keadaan, penyalahgunaan keadaan ini berkaitan dengan kondisi yang ada pada saat kesepakatan terjadi, kondisi tersebut membuat ada salah satu pihak yang  berada dalam keadaan tidak bebas untuk menyatakan kehendaknya.
Didalam UUPK secara umum membuka kemungkinan pengajuan gugatan oleh konsumen kepada pelaku usaha berdasarkan factor penyalahgunaan keadaan ini. Dalam pasal 2 UUPK menyebutkan adanya 5 asas perlindungan konsumen, yaitu asas :
1.    Manfaat
2.    Keadilan
3.    Keseimbangan
4.    Keamanan dan keselamatan
5.    Kepastian hukum[15]
Pada asas keadilan dijelaskan, seluruh rakyat diupayakan agar dapat berpartisipasi semaksimal mungkin dan agar diberi kesempatan kepada konsumen dan pelaku usaha untuk memperoleh haknya dan melaksanakan kewajibannya secara adil. Kemudian, dalam asas keseimbangan disebutkan, perlu diberi keseimbangan antar pihak pihak yang bersangkutan.[16]
Kemudian dalam pasal 4 UUPK menyebutkan pula salah satu hak konsumen adalah untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif. Penjelasan dari ketentuan tersebut secara jelas dapat ditafsirkan sebagai keterkaitan dengan larangan “penyalahgunaan keadaan”. Dalam ketentuan itu dikatakan, setiap konsumen memiliki hak untuk diperlakukan atau dilayani secar benar dan jujur serta tidak diskriminatif berdasarkan suku, agama, budaya, daerah, pendidikan, kaya, miskin dan status social lainnya.
Pasal 15 UUPK bahkan secara tegas menyatakan, pelaku usaha dalam menawarkan barang dan atau jasa dilarang melakukan dengan cara pemaksaan atau cara lain yang dapat menimbulkan gangguan baik fisik maupun sikis terhadap konsumen. Selanjutnya dalam hubungannya dengan perjanjian standart, pasal 18 UUPK meletakkan hak hak ynag setara antara konsumen dan pelaku usaha berdasarkan prinsip kebebasan bekontrak. Pelanggaran terhadap kedua pasal diatas merupakan tindak pidana menurut ketentuan pasal 62 UUPK, dengan ancaman pidana penjara paling lama 5t tahun atau pidana denda paling banyak Rp. 2.000.000.000.




BAB III
SIMPULAN

a.       Leasing adalah kegiatan pembiayaan dalam bentuk penyediaan barang modal baik secara sewa guna usaha dengan hak opsi (finance lease)  maupu sewa guna usaha tanpa hak opsi atau (operating lease) untuk digunakan oleh lease dalam jangga waktu tertentu berdasarkan pembayaran secara berkala.
                        ada dua jenis bentuk leasing itu sendiri yaitu finance lease  dan operating lease. Financial lease adalah kegiatan leasing dimana pada akhir perjanjian leasing mempunyai hak opsi untuk membeli objek leasing berdasarkan nilai sisa yang disepakati. Operating lease adalah setiap kegiatan leasing dimana lease pada akhir kontrak tidak mempunyai hak opsi untuk membeli objek leasing.
b.      Leasing Kendaraan Bermotor adalah suatu perjanjian kontrak antara pemberi modal dengan yang penerima modal guna untuk menyewa barang tertentu yang dalam hal ini adalah motor.
Usaha leasing (sewa guna usaha) sebenarnya sudah ada sejak tahun 2000 sebelum masehi yang dilakukan oleh orang-orang Sumeria. Sedangkan Kegiatan Leasing diperkenalkan untuk pertama kali di indonesia pada tahun 1974 dengan di keluarkannya Surat Keputusan Bersama Menteri Keuangan, Menteri Perdagangan dan Menteri Perindustrian No. Kep.122/MK/2/1974,  No.32/M/SK/1974 dan No. 30/Kpb/1/1974 Tanggal 7 februari tahun 1974 tentang “Perijinan usaha Leasing”. Selanjutnya Menteri Keuangan  mengeluarkan SK No. 650/MK/IV/5/1974 tanggal 6 Mei 1974 karena sejak saat itu jumlah perusahaan Leasing dari tahun ke tahun mengalami kemajuan dan SK tersebut dgunakan untuk mengatur/acuan untuk membiayai penyediaan barang-barang modal dunia usaha, serta untuk mendukung perkembangan usaha  leasing ini.
c.       Mekanisme Leasing sendiri dapat dilihat di bagian c, yang meliputi Pihak Lesse dan Lessor, Barang yang dileasingkan, serta kontrak didalamnya.  Dalam Leasing (sewa guna usaha) kendaraan bermotor yang mencakup teknik transaksi antara lessor dan lesse  dapat digunakan jenis Finance Lease.
Pada jenis ini lesse menghubungi lessor untuk memilih, memesan, memeriksa dan memelihara barang modal yang dibutuhkan selama masa sewa lesse membayar sewa secara berkala dari jumlah seluruhnya ditambah dengan pembayaran nilai sisa (residual value). Dalam hal ini pada masa akhir kontrak lesse memiliki hak opsi atas barang modalnya untuk mengembalikan, membeli atau memperpanjang masa kontraknya.
d.      Peraturan mengenai Leasing ini terdapat dalam Pasal 9 ayat (1) Keputusan Menteri Keuangan No.1169/KMK.01/1991 yang isinya mengenai kegiatan Sewa Guna Usaha ditentukan bahwa setiap transaksi Sewa Guna Usaha wajib diikat dalam suatu perjanjian Sewa Guna Usaha (lease agreement).
Dan juga dalam Pengumuman Direktur Jenderal Moneter No. Peng.307/DJM/III.1/7/1974 menyebutkan bahwa untuk kepentingan pengawasan dan pembinaan, para pengusaha leasing diharuskan menyampaikan kepada Direktur Jenderal, Departemen Keuangan.
Dari kedua ketentuan di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa kegiatan Sewa Guna Usaha merupakan suatu bentuk perjanjian yang dibuat secara tertulis (kontrak).
e.       Sengketa Leasing serta Perlindungan Konsumen terhadap leasing. Jika dalam suatu perjanjian leasing ini terdapat seorang konsumen yang terlanggar haknya maka seorang nasabah atau konsumen dapat mengadukan pada BPSK terkait jasa lembaga pembiayaan atau leasing terutama mengenai kendaraan bermotor. UUPK pasal 18, pasal 2, Pasal 4, dan pasal 15 dapat dijadikan acuan atau aturan yang menjadi alasan hak hak konsumen yang terlanggar.





DAFTAR PUSTAKA

Undang-undang Republik Indonesia tentang Perlindungan Konsumen Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dan Penjelasannya
Sidabolak, Janus. Hukum Perlindungan Konsumen. Bandung: Citra Aditya Bakti. 2006
Miru, Ahmadi. Hukum Kontrak dan Perancangan Kontrak. Jakarta: Raja Grafindo Persada. 2008
Frianto Pandia dkk. Lembaga Keuangan.  Jakarta: PT. RINEKA CIPTA. 2005
Sunaryo. Hukum Lembaga Pembiayaan. Jakarta: Sinar Grafika. 2008
Tri Siwi, Celina. Hukum Perlindungan Konsumen. Jakarta: Sinar Grafika. 2008
http://www.academia.edu/7237483/MAKALAH_LEASING




[1] Janus Sidabolak, Hukum Perlindungan Konsumen, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2006), hal. 30 - 31
[2] Frianto Pandia dkk. Lembaga Keuangan. ( Jakarta : PT. RINEKA CIPTA, 2005). hal 110-114
[3] Sunaryo, Hukum Lembaga Pembiayaan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), hal. 47
[4] http://www.academia.edu/7237483/MAKALAH_LEASING
[5] Frianto Pandia dkk. Lembaga Keuangan…, hal. 111 - 112
[6] Sunaryo, Hukum Lembaga… hal. 58
[7] Frianto Pandia dkk. Lembaga Keuangan…, hal. 115
[8] Ahmadi Miru, Hukum Kontrak dan Perancangan Kontrak, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2008), hal. 2
[9] Sunaryo. Hukum Lembaga Pembiayaan. (Jakarta : Sinar Grafika, 2008), hlm 60-63
[12] Undang-undang Republik Indonesia tentang Perlindungan Konsumen Nomor 8 Tahun 1999
[13] Ahmadi Miru, Hukum Kontrak dan…, hal. 4
[14] Celina, Tri Siwi, Hukum Perlindungan Konsumen, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), hal.109-110
[15] Undang-undang Perlindungan Konsumen dan penjelasannya.
[16] Celina, Tri Siwi, Hukum Perlindungan Konsumen,…, hal. 113